fbpx
ARTIKEL

Alasan, prosedur, dan risiko induksi pada persalinan

| Luvi Zhea

Melahirkan normal dengan induksiBila ada masalah dengan proses persalinan normal, biasanya akan dilakukan tindakan dengan persalinan Caesar. Namun mengingat persalinan Caesar memiliki tingkat risiko yang juga tinggi, maka bila masih ada kesempatan untuk melahirkan normal, beberapa wanita tetap ingin memilih untuk melakukan persalinan normal, walaupun harus dipacu dengan tindakan induksi pada persalinan tersebut.

Persalinan dengan induksi adalah salah satu cara untuk mempercepat kelahiran secara normal dengan cara merangsang kontraksi rahim sebelum kontraksi alami terjadi. Namun demikian, prosedur ini tidak dapat dilakukan sembarangan mengingat prosedur ini bukan tanpa risiko, tetap ada risiko lebih dibandingkan persalinan normal pada umumnya. Induksi hanya akan ditawarkan bila ada faktor lain yang menegaskan bahwa pilihan tersebut adalah jalan terbaik selain persalinan Caesar.

Alasan dilakukannya induksi pada persalinan

Ada beberapa alasan mengapa ibu hamil yang melahirkan harus menjalani induksi, alasan utamanya adalah pertimbangan terhadap keselamatan janin. Misalnya bila janin terlalu lama didalam kandungan, maka kondisi tersebut akan mengancam keselamatan janin. Beberapa kondisi tersebut seperti: Usia kehamilan yang lewat waktu, Oligohidramnion (air ketuban sedikit) atau karena ketuban pecah dini (KPD), adanya hambatan pertumbuhan janin atau Intrauterine Growth Retardation (IUGR), pergerakan janin semakin melemah, dan pertimbangan medis lainnya yang mengharuskan bayi segera dilahirkan.

Walaupun demikian, meski beberapa pemeriksaan menunjukan kondisi ibu dan janin normal, kadang persalinan dengan induksi tetap akan dilakukan, terutama bila ibu ingin segera mengakhiri proses persalinan yang panjang.

Bila usia kehamilan melewati waktu perkiraan persalinan

Bila setelah tanggal perkiraan kelahiran normal (usia kehamilan 40 minggu), bayi ibu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan dan tidak ada masalah kesehatan serius, maka Dokter biasanya akan menunggu lagi hingga 1-2 minggu ke depan.

Maka dari itu diperlukan pemeriksaan non-invasif dan profil biofisika saat kehamilan melebihi waktu yang seharusnya untuk mengetahui apakah janin dalam keadaan stres atau tidak. Apabila keadaan janin baik, ibu dapat meneruskan kehamilan sampai kelahiran normal (spontan) terjadi. Namun bila selama menunggu kelahiran normal itu terjadi masalah, misalnya pergerakan janin melemah akibat kurangnya cairan ketuban, maka persalinan yang dipicu dengan induksi sebaiknya segera di lakukan.

Namun bila kehamilan telah mencapai usia 42 minggu, tapi belum juga ada tanda-tanda kontraksi yang menunjukan bayi akan keluar, adanya masalah ataupun tidak, maka prosedur induksi sebaik juga dilakukan. Mengingat setelah masa ini risiko komplikasi pada bayi dan risiko persalinan akan semakin tinggi. Seperti terjadinya kondisi:

  • Mekonium atau tinja janin yang pertama dapat tertelan oleh bayi dan dapat menyebabkan gangguan pernapasan atau infeksi paru-paru pada bayi.
  • Risiko bayi meninggal dalam kandungan dan masalah lain akan makin tinggi, karena pada saat ini terjadi penurunan fungsi plasenta. Plasenta memiliki waktu sampai akhir minggu ke-42 untuk berfungsi dengan baik. Jadi janin tidak boleh lebih dari 42 minggu berada di dalam rahim karena plasenta tidak dapat lagi memberikan makanan yang cukup untuk janin setelah jangka waktu tersebut.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah induksi dibolehkan pada kehamilan 40-42 minggu? Jawabannya tergantung keadaan, riwayat kehamilan, dan keputusan Dokter secara pribadi.

Bila air ketuban pecah dan ibu belum merasakan kontraksi sebagai tanda-tanda akan melahirkan

Selain alasan keterlambatan waktu perkiraan persalinan seperti yang telah Luvizhea.com jelaskan diatas, persalinan dengan induksi terkadang juga harus dilakukan pada waktu persalinan yang tidak terlambat, yaitu 40 minggu atau sebelumnya. Prosedur induksi dilakukan pada kondisi ini biasanya karena beberapa alasan medis. Misalnya ketika selaput ketuban pecah namun belum ada tanda-tanda kontraksi.

Sekitar 5-14% kehamilan akan mengalami ketuban pecah dini. Bila ketuban pecah dan cairan ketuban habis sama sekali, biasanya Dokter akan segera mengeluarkan janin baik itu melalui jalan operasi Caesar ataupun melalui persalinan normal.

Apabila kehamilan sudah memasuki fase akhir, maka kontraksi akan terjadi dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah, sehingga persalinan normal dapat dilakukan tanpa bantuan apapun. Namun yang menjadi masalah, semakin dini ketuban pecah, maka semakin lama jarak antara ketuban pecah dengan kontraksi terjadi.

Apabila air ketuban pecah pada usia kehamilan 34 minggu dan paru-paru janin belum matang, maka Dokter akan melakukan beberapa upaya untuk mencegah kelahiran prematur, termasuk memberikan suntikan Kortikosteroid (Betamethasone atau Dexamethasone) untuk mematangkan (maturasi) paru-paru janin, agar ketika bayi lahir tidak mengalami masalah dengan pernafasannya. Namun bila saat ini persalinan tetap harus dilakukan, namun kontraksi belum juga muncul, maka Dokter biasanya akan menginduksi persalinan dengan pemberian oxytocin (perangsang kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban.

Akan tetapi bila memang sudah masuk tanggal persalinan normal (usia kehamilan 37-40 minggu), maka Dokter biasanya tidak akan menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu, karena menunda induksi bisa meningkatkan risiko infeksi. Apalagi bila cairan ketuban telah berubah warna menjadi kehijauan.

Bila ibu hamil mengalami gangguan kesehatan

Bila ibu mengidap penyakit tertentu, seperti tekanan darah tinggi (preeklampsia) atau diabetes gestasional (kadar gula darah tidak terkontrol) yang mungkin akan berdampak pada kondisi ibu dan pertumbuhan janin, sehingga janin sebaiknya segera dilahirkan. Maka bila memungkinkan opsi untuk melahirkan normal secara induksi bisa menjadi pilihan, dan itupun biasanya dibantu dengan bantuan Forcep agar ibu tidak terlalu mengejan saat melahirkan. Namun bila tidak memungkinkan, prosedur persalinan Caesar adalah pilihan terbaik mengingat besarnya risiko bila dilakukan persalinan normal pada kondisi tersebut.

Bila ibu hamil ingin segera melahirkan

Bila pada kehamilan tua ibu sudah merasa sangat tidak nyaman dan ingin segera melahirkan, atau setelah pembukaan kesatu, kedua, atau ketiga dan setelah itu ibu tidak merasakan kontraksi kembali sehingga pembukaan tidak berlanjut, maka tindakan induksi untuk merangsang kontraksi untuk mempercepat proses melahirkan dapat dilakukan.

Hanya saja yang perlu diperhatikan disini adalah keadaan mulut rahim harus dijadikan pertimbangan. Induksi akan bermanfaat ketika mulut rahim (serviks) telah matang dan telah menipis sekitar 50% atau berdilatasi 3-4 cm. Hal ini berarti tubuh ibu telah siap untuk menghadapi proses persalinan. Selain itu secara statistik, fase ini lebih aman untuk melahirkan normal (pervaginam).

Namun, bila mulut rahim belum cukup menipis dan berdilatasi, itu tandanya tubuh belum siap untuk melahirkan. Melakukan induksi dan melahirkan pervaginam bukan cara yang tepat pada keadaan demikian, karena kemungkinan besar persalinan akan diubah menjadi Caesar ditengah “perjalanan”.

Berbagai metode induksi pada persalinan

Ada berbagai metode atau prosedur yang dapat dilakukan untuk menjalani induksi baik itu secara mekanik maupun kimia. Opsi yang diambil sangat bergantung pada kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing ibu hamil.

Induksi secara mekanik, biasanya dilakukan dengan sejumlah cara, seperti menggunakan metode Membrane Sweep (Menyapu selaput pada leher rahim) dengan Stripping (melepas kulit ketuban dari bagian bawah rahim), pemasangan balon kateter (foley catheter) dimulut rahim, dan tindakan Amniotomi (memecahkan kulit ketuban). Sedangkan induksi secara kimia, umumnya dilakukan dengan memberikan obat-obatan khusus (Oxytocin), yang diberikan dengan cara diminum (oral), dimasukkan ke dalam vagina, atau diinfuskan melalui pembuluh darah.

Menyapu selaput pada leher rahim (Membrane Sweep)

Sebelum menjalani induksi, Dokter akan menjalankan penyapuan membran atau penyapuan leher rahim untuk memicu proses persalinan. Cara ini dilakukan Dokter atau Bidan dengan menyapukan jari mereka di sekeliling leher rahim untuk memisahkan lapisan kantung ketuban dengan leher rahim (Stripping). Saat pemisahan, terjadi pelepasan hormon Prostaglandin yang berperan memicu persalinan. Umumnya proses ini dapat membuat ibu merasa tidak nyaman dan menyebabkan sedikit pendarahan.

Bila pengelupasan membran tidak berhasil memicu persalinan, maka Dokter akan menawarkan opsi induksi. Dengan pemberian Gel atau Pessary (seperti tablet) yang dimasukkan ke vagina untuk memicu kontraksi.

Pemasangan balon Kateter (Foley Catheter)

Balon kateter merupakan pilihan lain disamping pemberian Prostaglandin untuk mematangkan serviks pada induksi persalinan. Penggunaan balon Kateter memiliki beberapa keunggulan, caranya sederhana, biaya rendah, reversibel, dan lebih sedikit efek samping serius dibandingkan dengan penggunaan metode medis untuk pematangan serviks. Sehingga metode ini sangat populer sebagai alat mekanis untuk pematangan serviks pada pasien dengan serviks yang belum matang.

Hal yang harus diperhatikan adalah tidak boleh memasang balon Kateter pada ibu hamil dengan perdarahan. ketuban pecah dini (KPD), pertumbuhan janin terhambat, atau adanya infeksi vagina maupun ibu hamil yang mengalami infeksi saluran kemih (ISK).

Cara penggunaannya dengan memasukan balon Kateter secara perlahan-lahan kedalam serviks ibu dengan menggunakan forceps DTT atau klem panjang atau venster klem. Pastikan ujung balon Kateter telah melewati Ostium Uteri Internum (OUI). Setelah itu, gembungkan balon Kateter dengan memasukan cairan (Aqua Bidestilata) sebanyak 10 ml. Gulung sisa Kateter dan masukan ke dalam vagina, atau dapat juga diplester pada paha ibu bagian dalam. Diamkan selama 12 jam sambil diobservasi hingga timbul kontraksi uterus, atau maksimal pemasangan 12 jam.

Memecahkan ketuban (Amniotomi)

Proses ini dilakukan bila kepala bayi telah sampai pada panggul bawah dan leher rahim telah setengah terbuka. Detak Jantung Janin (DDJ) akan terus dimonitor saat kontraksi dan sesudah kontraksi rahim. Apabila ada kelainan Detak Jantung Janin kurang dari 100 atau lebih dari 180 kali/menit, maka perlu dicurigai sebagai gawat janin.

Pada umumnya bila serviks sudah matang, persalinan akan terjadi 12 jam setelah ketuban pecah. Namun bila serviks sudah matang dan ketuban belum pecah, makan Dokter akan memecahkan membran (selaput) ketuban. Caranya dengan memasukkan alat khusus melalui vagina, sehingga membran ketubannya menjadi pecah. Cairan ketuban akan mengalir perlahan. Catat warna, kejernihan, pewarnaan mekonium, jumlahnya. Bila ada pewarnaan mekonium, maka perlu dicurigai sebagai gawat janin.

Bila proses persalinan yang baik tidak terjadi 1 jam setelah tindakan Amniotomi, mulailah dengan infus Oksitosin (Oxytocin).

Mematangkan serviks (Ripening) dan memulai kontraksi buatan dengan obat (Oxytocin)

Mulut rahim mulai menjadi lembut, melebar, dan memendek sebelum proses persalinan dimulai, sehingga mempermudah proses mengeluarkan janin dari dalam kandungan. Namun bila mulut rahim belum mengalami pematangan, maka perlu dilakukan tindakan Ripening sebelum induksi dilakukan.

Selain penggunaan balon Kateter seperti yang Luvizhea.com jelaskan diatas untuk mematangkan serviks secara mekanik, pematangan serviks bisa juga dilakukan dengan cara mengkonsumsi hormon prostaglandin sintetis melalui mulut atau meletakkannya di dalam vagina.

Setelah serviks matang (mulai menipis dan melunak), maka untuk membuat kontraksi pada rahim, Dokter akan memberikan obat yang disebut Oksitosin. Obat ini akan membantu persalinan dengan induksi karena mirip dengan hormon yang memacu kontraksin alami. Oksitosin diberikan melalui infus dan dipantau dosisnya agar sesuai dengan kebutuhan. Pada umumnya kontraksi akan mulai dirasakan dalam waktu 30 menit setelah infus ini diberikan. Bila setelah 6-8 jam belum juga ada kemajuan, berarti persalinan dengan induksi gagal, dan Dokter kemungkinan akan mengambil tindakan Caesar.

Tidak jarang Dokter menggunakan kombinasi beberapa metode di atas untuk melancarkan persalinan. Pada persalinan dengan masalah (misalnya: Sepsis, peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi atau terjadinya preeklampsia), maka infus Oksitosin dilakukan bersamaan dengan tindakan Amniotomi.

Waktu yang dibutuhkan tiap wanita bisa beragam. Bila leher rahim telah matang (melunak) dan tidak ada gangguan berarti, maka setelah induksi ibu dapat menggendong bayi pada beberapa jam kemudian. Namun bila tidak, prosedur induksi baru akan mendatangkan hasil hingga 2×24 jam kemudian. Setelah itu bila induksi tidak berhasil, maka persalinan normal tidak bisa dilanjutkan, dan mungkin akan dijalankan prosesdur persalinan dengan Operasi Cesar secepatnya.

Risiko yang dapat timbul dari induksi persalinan

Perlu diingat bahwa induksi adalah tindakan yang mengandung risiko dan karena itu tidak bisa dilakukan tanpa alasan yang kuat. Berikut ini beberapa konsekuensi yang bisa dialami ibu hamil yang menjalani induksi persalinan.

  • Persalinan dengan induksi biasanya lebih terasa sakit dibandingkan persalinan normal biasa, sehingga kebanyakan ibu meminta diberikan pereda nyeri selama proses ini. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman atau sakit, lakukan teknik pernafasan saat persalinan. Namun bila ibu tetap merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan, biasanya Dokter akan menghentikan proses induksi,kemudian akan dilakukan operasi Caesar.
  • Induksi yang terlalu dini dapat menyebabkan bayi lahir prematur. Pada situasi ini, induksi dapat membuat bayi menjadi sulit bernafas, itulah pentingnya dilakukan tidakan maturasi (pematangan) paru-paru saat adanya tanda-tanda kelahiran prematur pada kehamilan 23-34 minggu.
  • Oksitosin atau Prostaglandin adalah obat-obatan yang digunakan untuk induksi. Kedua bahan ini berpotensi memicu beberapa komplikasi, antara lain membuat Detak Jantung Janin (DDJ) menjadi lebih lemah, serta mengurangi suplai oksigen kepada janin. Selain itu, Janin akan merasa tidak nyaman, sehingga dapat membuat kondisi gawat janin (fetal disterss). Itu sebabnya selama proses induksi berlangsung, Dokter akan memantau gerak janin melalui Kardiotopografi (CTG). Bila dianggap terlalu berisiko menimbulkan gawat janin, proses induksi akan dihentikan.
  • Induksi dapat mempertinggi risiko gangguan pada tali pusat masuk ke dalam vagina sebelum persalinan (prolaps tali pusat). Situasi ini dapat menekan tali dan mengurangi aliran oksigen untuk janin.
  • Beberapa metode induksi, seperti pengelupasan lapisan leher rahim, menempatkan Kateter balon pada leher rahim, atau memecahkan air ketuban dapat meningkatkan risiko infeksi pada ibu dan janin.
  • Induksi dapat meningkatkan risiko otot kandung kemih ibu tidak berkontraksi setelah persalinan, sehingga dapat meningkatkan risiko inkontinensia (tidak dapat menahan Buang Air Kecil) bahkan pendarahan setelah bayi lahir.
  • Oksitosin dapat menyebabkan kondisi gawat janin yang terjadi akibat hiperstimulasi. Walaupun jarang terjadi, Rupture Uteri (Pecah rahim) yang membuat janin keluar melalui dinding rahim ke rongga perut ibunya dapat pula terjadi, terutama pada multipara (wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali), atau wanita yang pernah melahirkan Caesar sebelumnya (Vaginal Birth After Cesarean – VBAC).
  • Meski kemungkinannya sangat kecil sekali, namun tetap harus diwaspadai terjadinya Emboli. Emboli adalah hambatan pada aliran pembuluh darah. Hambatan yang dimaksud di sini bisa berupa gelembung udara atau darah yang menggumpal. Emboli yang muncul pada tubuh manusia dapat mengganggu organ tubuh karena kekurangan oksigen. Bila menyebabkan terjadinya Emboli di otak atau paru-paru ibu, maka dapat menyebabkan kematian saat proses persalinan.

Yang tidak boleh melakukan induksi persalinan

Induksi tidak disarankan bagi wanita yang mengalami beberapa kondisi berikut ini:

  • Ibu sedang mengidap infeksi herpes genital, sebab persalinan normal (pervaginam) dengan herpes yang aktif sangat berbahaya bagi bayi, karena bayi bisa tertular. Bila demikian sebaiknya lakukan persalinan Caesar.
  • Memiliki cacat uterus atau pernah menjalani operasi besar pada rahim, baik itu operasi pengangkatan Miom (Miomektomi) maupun Operasi Caesar dengan sayatan besar atau klasik, karena risiko Rupture Uteri akan semakin tinggi.
  • Ibu mengalami Plasenta previa (leher rahim yang tertutup plasenta) atau ketika jalan lahir terlalu sempit untuk bayi.
  • Ibu mengalami kondisi Disproporsi Sefalopelvik, yaitu keadaan yang menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat keluar melalui vagina. Hal ini bisa disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya.
  • Ibu mengalami Fetoplasental seperti janin preterm (bayi lahir dibawah usia kehamilan 37 minggu) dengan paru-paru belum matang, terjadi gawat janin akut, dan kelainan letak (posisi janin melintang atau sungsang).
  • Jangan lakukan Ripening serviks dan induksi dengan pemasangan Kateter Foley bila terdapat riwayat perdarahan, atau ketuban pecah, atau infeksi vagina.
  • Ibu telah melahirkan lebih dari 5 kali, atau memiliki riwayat Partus Presipitattus (persalinan yang berlangsung sangat cepat) serta mengalami regangan uterus berlebihan,

Bila saat ini ibu sedang mempertimbangkan persalinan normal dengan induksi, diskusikan terlebih dahulu dengan Dokter kandungan Anda. Dan pastikan situasi ibu cocok untuk menjalani prosedur ini, untuk meminimalisir risiko.

Baca juga: Masa Nifas setelah melahirkan Normal dan Caesar.

Bagikan ini di: